Senin, 19 Oktober 2015



Judul     : Soeharto di Bawah Militerisme Jepang
Penulis  : David Jenkins
Penerbit : Komunitas Bambu, Depok
Cetakan : I, November 2010
Tebal : xx+252 halaman

Soeharto memang sosok ‘luar biasa’. Selalu menjadi bahan perbincangan seru, baik oleh mereka yang sinis, maupun yang apresiatif, bahkan hingga dia sudah di alam kubur. Lihat, misalnya, beberapa waktu lalu berkembang wacana layak tidaknya Soeharto diberi gelar pahlawan. Ia memang ‘luar biasa’, setidaknya rekor menjadi penguasa terlama di dunia kedua setelah Fidel Castro (Kuba) menjadi bukti yang tak terbantahkan.

Tapi, di balik ‘keluarbiasaan’ Soeharto, di masa mudanya, ia sebenarnya bukanlah orang spesial, malah nyaris tidak dikenal kecuali oleh kawan-kawannya di KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) atau kawan-kawannya di barisan PETA (Pembela Tanah Air). Selain itu, ia sama sekali tidak memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional, sebelum kemudian pada akhir 1965 namanya tiba-tiba melejit ke papan atas kekuasaan, sampai menjadi presiden RI, menggantikan Sukarno.

Buku Soeharto di Bawah Militerisme Jepang karya David Jenkins ini mencoba menelusuri jejak Soeharto muda, terutama di zaman pendudukan Jepang. Zaman yang ia sebut sebagai zaman yang telah benar-benar membentuk seorang Soeharto melalui PETA yang dibentuk Jepang untuk menutup defisit pasukannya di Jawa sekaligus menghadapi ancaman sekutu yang suatu saat menyerang Jawa.

Cerita tentang Soeharto ini Jenkins mulai dengan keberadaan Soeharto di Cisarua, Jawa Barat, pada masa-masa menyerahnya Belanda pada Jepang. Sebagai seorang sersan KNIL, ia tentu saja akan menjadi tawanan Jepang. Namun, ia tidak ingin menjadi tawanan Jepang seperti anggota KNIL yang lainnya. Ia, bersama dengan sahabatnya di KNIL, Amat Sudono, pun pergi ke Cimahi. Di situ, ia membuang seragam KNIL, dan membeli baju biasa. Di tempat itu pula, ia pertama kali bertemu dengan tentara Jepang.

Soeharto dan Sudono kemudian membeli karcis kereta menuju Yogyakarta yang sudah diduduki oleh Jepang pada 5 Maret 1942. Di stasiun Tugu, ia mendengar pengumuman dengan ancaman agar para bekas tentara Belanda segera melaporkan diri ke Jetis. Soeharto tidak ingin melakukannya. Karena itu, ia pun pergi ke Sleman dan menginap semalam di rumah Sudono, sebelum paginya melanjutkan perjalanan ke Wuryantoro dan disambut oleh paman dan bibinya. Untuk sementara, ia aman di situ.

Di Wuryantoro, Soeharto jatuh sakit untuk beberapa hari lamanya. Ia sadar, setelah sembuh ia tidak dapat tinggal bersama kerabatnya lagi. Ia merasa hanya menjadi beban di situ. Menjelang akhir 1942, ia pergi ke Yogyakarta dengan harapan memperoleh pekerjaan. Ternyata, di kota itu tidak ada pekerjaan yang cocok untuknya yang ketika itu berumur 21 tahun. Dengan sedikit uang yang dimiliki, ia kemudian mengikuti kursus mengetik di Patuk, tidak jauh dari istana Gubernur Hindia Belanda yang saat itu menjadi kediaman resmi Gubernur Jepang, Brigjen Yamanouchi. Di Yogyakarta, lagi-lagi ia jatuh sakit.

Dalam situasi menganggur dan bingung, pada November 1942, ia mendapati sebuah kantor polisi Jepang tidak jauh dari tempat kursusnya. Di kantor polisi itu, ia membaca pengumuman bahwa Jepang mencari tenaga polisi Indonesia. Mulanya, ia ragu, karena ia bekas anggota KNIL, khawatir ditangkap, kemudian dipenjara. Namun, akhirnya ia mendaftar juga. Dalam wawancara di kepolisian itu, ia sama sekali tidak menyebutkan KNIL.

Soeharto pun lulus, dan diterima sebagai calon polisi. Ia kemudian mendapat seragam polisi Jepang dengan peci bergambar bendera Jepang. Segera setelah itu, ia menjalani latihan yang sangat keras selama tiga bulan. Selama satu tahun, ia menjalani dinas di kepolisian, dengan berpindah-pindah tempat tugas, hingga bertugas di Jawa Tengah, sampai kemudian beberapa perwira senior Jepang memperhatikannya. Akhirnya, ia pun dikirimkan ke sejumlah perwira penting AD Jepang yang mengantarkan dirinya di jalur cepat militer.

Pada Jumat, 8 Oktober 1943, atas anjuran atasannya, Superintendan Okamoto, Soeharto mendaftarkan diri di pusat pendaftaran sementara AD Jepang di Yogyakarta, bersama dengan sekitar 400 orang lainnya. Tentara AD Jepang memutuskan untuk membentuk pasukan sukarela di Jawa, dan menjaring calon-calon perwira, untuk menambah kesatuan-kesatuan mereka yang mulai kewalahan. Dalam pertempuran Midway pada awal Juni 1942, kemenangan demi kemenangan yang diraih oleh Jepang sebelumnya, berhenti begitu saja. Itu berarti hampir enam bulan setelah serangan pembukaan ke Pearl Harbor dan hanya tiga bulan setelah pendaratan Jepang di Jawa.

Situasi penuh ancaman, terutama setelah Sekutu mengalahkan Jepang di Filipina, membuat Letjen Harada Kumakichi, komandan di Jawa, setelah mendapat rekomendasi dari Letjen Inada Masazumi, Wakil Panglima Tentara ke-16 AD, pada 3 Oktober 1943 mengumumkan dibentuknya pasukan pertahanan sukarela di Jawa berdasarkan semangat pertahanan dari Asia Timur Raya dan dalam menanggapi kehendak kuat 50 juta rakyat Indonesia untuk pertahanan tanah air. Tentara ini berada di bawah petunjuk komando tertinggi dengan kesatuan-kesatuan yang ditugaskan melakukan pertahanan wilayah setempat menghadapi Amerika, Inggris, dan Belanda. Itulah PETA (Pembela Tanah Air), cikal bakal TNI (Tentara Nasional Indonesia).

Dalam dunia pelatihan PETA inilah, Soeharto terbentuk persisnya. Berbagai latihan keras dijalaninya. Latihan yang baginya bukan hal asing, karena ia mantan KNIL. Awalnya, orang Jepang tidak tahu ia bekas KNIL, tapi akhirnya mereka tahu juga. Meski begitu, mereka tidak menganulirnya dari PETA, karena mereka melihat Soeharto cukup pintar dan dapat dipercaya. Beberapa kali ia diangkat sebagai komandan peleton untuk berjaga-jaga di garis pantai selatan. Kesan bagus pun dialamatkan padanya. Meski ada juga kesan skeptis.

Selama 22 bulan di PETA, Soeharto telah mendapatkan banyak pengalaman berharga. Salah seorang rekannya menyebut, “PETA telah membentuknya”. Meski waktunya pendek, ia telah banyak mendapat pelatihan ketat sebagai komandan peleton. Ia juga harus membentuk dan melatih peleton beranggotakan 44 orang serta memimpinnya selama empat bulan. Ia adalah komandan kompi (Chudancho) yang cakap, membawahi 132 orang anak buah dan pangkatnya setara kapten. Serangkaian pelatihan penting ia jalani.

Soeharto bukan sosok terkenal, bahkan di PETA sendiri. Karena Jepang membatasi kontak di antara sesama anggota PETA
. Soeharto hanyalah sosok luar, baik dari segi sosial maupun pendidikan. Dengan tokoh-tokoh nasionalis pun tidak ada hubungan. Bahkan mungkin dipandang dengan sinis, karena tahu Soeharto adalah bekas KNIL, dan pada masa Jepang ia mendukung fasisme Jepang. Tetapi, dalam situasi Jawa yang mudah berubah dan mengancam, sesudah Jepang menyerah, Soeharto memiliki sejumlah kartu penting. Ia memiliki kemampuan, pelatihan, pengalaman, pertimbangan, serta tekad. Ia juga punya hubungan cukup luas di kalangan pemuda Yogyakarta yang telah berlatih tempur. Menarik disimak.




Diposkan 7th December 2010 oleh Fajar Kurnianto




-----000-----
-----000-----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar