Judul : Soeharto di Bawah Militerisme Jepang
Penulis : David Jenkins
Penerbit : Komunitas Bambu, Depok
Cetakan : I, November 2010
Tebal : xx+252 halaman
Soeharto memang sosok ‘luar biasa’. Selalu menjadi bahan
perbincangan seru, baik oleh mereka yang sinis, maupun yang apresiatif, bahkan
hingga dia sudah di alam kubur. Lihat, misalnya, beberapa waktu lalu berkembang
wacana layak tidaknya Soeharto diberi gelar pahlawan. Ia memang ‘luar biasa’,
setidaknya rekor menjadi penguasa terlama di dunia kedua setelah Fidel Castro
(Kuba) menjadi bukti yang tak terbantahkan.
Tapi, di balik ‘keluarbiasaan’ Soeharto, di masa mudanya, ia
sebenarnya bukanlah orang spesial, malah nyaris tidak dikenal kecuali oleh
kawan-kawannya di KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) atau
kawan-kawannya di barisan PETA (Pembela Tanah Air). Selain itu, ia sama sekali
tidak memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional, sebelum
kemudian pada akhir 1965 namanya tiba-tiba melejit ke papan atas kekuasaan,
sampai menjadi presiden RI, menggantikan Sukarno.
Buku Soeharto di Bawah Militerisme Jepang karya David
Jenkins ini mencoba menelusuri jejak Soeharto muda, terutama di zaman
pendudukan Jepang. Zaman yang ia sebut sebagai zaman yang telah benar-benar
membentuk seorang Soeharto melalui PETA yang dibentuk Jepang untuk menutup
defisit pasukannya di Jawa sekaligus menghadapi ancaman sekutu yang suatu saat menyerang
Jawa.
Cerita tentang Soeharto ini Jenkins mulai dengan keberadaan
Soeharto di Cisarua, Jawa Barat, pada masa-masa menyerahnya Belanda pada
Jepang. Sebagai seorang sersan KNIL, ia tentu saja akan menjadi tawanan Jepang.
Namun, ia tidak ingin menjadi tawanan Jepang seperti anggota KNIL yang lainnya.
Ia, bersama dengan sahabatnya di KNIL, Amat Sudono, pun pergi ke Cimahi. Di
situ, ia membuang seragam KNIL, dan membeli baju biasa. Di tempat itu pula, ia
pertama kali bertemu dengan tentara Jepang.
Soeharto dan Sudono kemudian membeli karcis kereta menuju
Yogyakarta yang sudah diduduki oleh Jepang pada 5 Maret 1942. Di stasiun Tugu,
ia mendengar pengumuman dengan ancaman agar para bekas tentara Belanda segera
melaporkan diri ke Jetis. Soeharto tidak ingin melakukannya. Karena itu, ia pun
pergi ke Sleman dan menginap semalam di rumah Sudono, sebelum paginya
melanjutkan perjalanan ke Wuryantoro dan disambut oleh paman dan bibinya. Untuk
sementara, ia aman di situ.
Di Wuryantoro, Soeharto jatuh sakit untuk beberapa hari
lamanya. Ia sadar, setelah sembuh ia tidak dapat tinggal bersama kerabatnya
lagi. Ia merasa hanya menjadi beban di situ. Menjelang akhir 1942, ia pergi ke
Yogyakarta dengan harapan memperoleh pekerjaan. Ternyata, di kota itu tidak ada
pekerjaan yang cocok untuknya yang ketika itu berumur 21 tahun. Dengan sedikit
uang yang dimiliki, ia kemudian mengikuti kursus mengetik di Patuk, tidak jauh
dari istana Gubernur Hindia Belanda yang saat itu menjadi kediaman resmi
Gubernur Jepang, Brigjen Yamanouchi. Di Yogyakarta, lagi-lagi ia jatuh sakit.
Dalam situasi menganggur dan bingung, pada November 1942, ia
mendapati sebuah kantor polisi Jepang tidak jauh dari tempat kursusnya. Di
kantor polisi itu, ia membaca pengumuman bahwa Jepang mencari tenaga polisi
Indonesia. Mulanya, ia ragu, karena ia bekas anggota KNIL, khawatir ditangkap,
kemudian dipenjara. Namun, akhirnya ia mendaftar juga. Dalam wawancara di
kepolisian itu, ia sama sekali tidak menyebutkan KNIL.
Soeharto pun lulus, dan diterima sebagai calon polisi. Ia
kemudian mendapat seragam polisi Jepang dengan peci bergambar bendera Jepang.
Segera setelah itu, ia menjalani latihan yang sangat keras selama tiga bulan.
Selama satu tahun, ia menjalani dinas di kepolisian, dengan berpindah-pindah
tempat tugas, hingga bertugas di Jawa Tengah, sampai kemudian beberapa perwira
senior Jepang memperhatikannya. Akhirnya, ia pun dikirimkan ke sejumlah perwira
penting AD Jepang yang mengantarkan dirinya di jalur cepat militer.
Pada Jumat, 8 Oktober 1943, atas anjuran atasannya,
Superintendan Okamoto, Soeharto mendaftarkan diri di pusat pendaftaran
sementara AD Jepang di Yogyakarta, bersama dengan sekitar 400 orang lainnya.
Tentara AD Jepang memutuskan untuk membentuk pasukan sukarela di Jawa, dan
menjaring calon-calon perwira, untuk menambah kesatuan-kesatuan mereka yang
mulai kewalahan. Dalam pertempuran Midway pada awal Juni 1942, kemenangan demi
kemenangan yang diraih oleh Jepang sebelumnya, berhenti begitu saja. Itu
berarti hampir enam bulan setelah serangan pembukaan ke Pearl Harbor dan hanya
tiga bulan setelah pendaratan Jepang di Jawa.
Situasi penuh ancaman, terutama setelah Sekutu mengalahkan
Jepang di Filipina, membuat Letjen Harada Kumakichi, komandan di Jawa, setelah
mendapat rekomendasi dari Letjen Inada Masazumi, Wakil Panglima Tentara ke-16
AD, pada 3 Oktober 1943 mengumumkan dibentuknya pasukan pertahanan sukarela di
Jawa berdasarkan semangat pertahanan dari Asia Timur Raya dan dalam menanggapi
kehendak kuat 50 juta rakyat Indonesia untuk pertahanan tanah air. Tentara ini
berada di bawah petunjuk komando tertinggi dengan kesatuan-kesatuan yang
ditugaskan melakukan pertahanan wilayah setempat menghadapi Amerika, Inggris,
dan Belanda. Itulah PETA (Pembela Tanah Air), cikal bakal TNI (Tentara Nasional
Indonesia).
Dalam dunia pelatihan PETA inilah, Soeharto terbentuk
persisnya. Berbagai latihan keras dijalaninya. Latihan yang baginya bukan hal
asing, karena ia mantan KNIL. Awalnya, orang Jepang tidak tahu ia bekas KNIL, tapi
akhirnya mereka tahu juga. Meski begitu, mereka tidak menganulirnya dari PETA,
karena mereka melihat Soeharto cukup pintar dan dapat dipercaya. Beberapa kali
ia diangkat sebagai komandan peleton untuk berjaga-jaga di garis pantai
selatan. Kesan bagus pun dialamatkan padanya. Meski ada juga kesan skeptis.
Selama 22 bulan di PETA, Soeharto telah mendapatkan banyak
pengalaman berharga. Salah seorang rekannya menyebut, “PETA telah
membentuknya”. Meski waktunya pendek, ia telah banyak mendapat pelatihan ketat
sebagai komandan peleton. Ia juga harus membentuk dan melatih peleton
beranggotakan 44 orang serta memimpinnya selama empat bulan. Ia adalah komandan
kompi (Chudancho) yang cakap, membawahi 132 orang anak buah dan pangkatnya
setara kapten. Serangkaian pelatihan penting ia jalani.
Soeharto bukan sosok terkenal, bahkan di PETA sendiri.
Karena Jepang membatasi kontak di antara sesama anggota PETA
. Soeharto hanyalah
sosok luar, baik dari segi sosial maupun pendidikan. Dengan tokoh-tokoh
nasionalis pun tidak ada hubungan. Bahkan mungkin dipandang dengan sinis,
karena tahu Soeharto adalah bekas KNIL, dan pada masa Jepang ia mendukung
fasisme Jepang. Tetapi, dalam situasi Jawa yang mudah berubah dan mengancam,
sesudah Jepang menyerah, Soeharto memiliki sejumlah kartu penting. Ia memiliki
kemampuan, pelatihan, pengalaman, pertimbangan, serta tekad. Ia juga punya
hubungan cukup luas di kalangan pemuda Yogyakarta yang telah berlatih tempur.
Menarik disimak.
Diposkan 7th December 2010 oleh Fajar Kurnianto
-----000-----
-----000-----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar